PBB menjadi Pajak Daerah

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Untuk meningkatkan  local taxing power pada kabupaten/kota:

  1. Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah
  2. Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah)
  3. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah
  4. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah
    Apa tujuan dari pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak daerah sesuai UU Pajak

Kapan berlakunya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota?

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan masih dikenakan Pajak Pusat paling lambat sampai dengan 31 Desember 2013 sampai ada ketentuan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan yang diberlaku-kan di daerah masing-masing.
PBB yang dialihkan menjadi Pajak Kabupaten/Kota hanya PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2), sementara PBB sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3) masih tetap menjadi Pajak Pusat.

Apa keuntungan bagi pemerintah kabupaten/kota dengan pengelolaan PBB-P2 ?

Penerimaan dari PBB 100% akan masuk ke pemerintah kabupaten/kota. Saat dikelola oleh Pemerintah Pusat (Direktorat Jenderal Pajak/DJP) pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%.

Apakah ada ketentuan yang bisa dijadikan acuan oleh kabupaten/kota dalam mempersiapkan pengelolaan PBB-P2?

Dalam mempersiapkan diri untuk mengelola PBB-P2, kabupaten/kota dapat berpedoman pada Undang-Undang PDRD dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
Selain itu Direktur Jenderal Pajak juga telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah

Apa saja tugas dan tanggung jawab kabupaten/kota dalam rangka persiapan pengalihan PBB-P2?

Pemerintah Daerah (Pemda) harus menyiapkan:

  1. Perda, Peraturan Kepala Daerah (Perkepda), dan Standard Operation Procedure(SOP);
  2. Sumber Daya Manusia;
  3. Struktur organisasi dan tata kerja;
  4. Sarana dan prasarana;
  5. Pembukaan rekening penerimaan; dan
  6. Kerja sama dengan pihak-pihak terkait (notaris/PPAT, BPN, dan lain-lain).

Hal-hal apa saja yang bisa diadopsi oleh kabupaten/kota dari Pusat?

Banyak hal yang bisa diadopsi oleh pemda dari DJP, antara lain:

  1. Tarif efektif, sistem administrasi PBB (pendataan, penilaian, penetapan, dan lain-lain);
  2. Kebijakan/peraturan dan SOP pelayanan;
  3. Keahlian SDM (melalui pelatihan);
  4. Sistem manajemen informasi objek pajak, dan lain-lain.

Apa saja yang perlu diperhatikan oleh kabupaten/kota dalam mengelola PBB-P2?

  1. Kebijakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah;
  2. Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat;
  3. Menjaga kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (WP); dan
  4. Akurasi data subjek dan objek pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) tetap terjaga.

Peluang apa saja yang dapat diperoleh oleh kabupaten/kota dengan pengalihan PBB-P2 ini?

  1. Penyeimbangan kepentingan budgeter dan reguler karena diskresi kebijakan ada di kabupaten/kota;
  2. Penggalian potensi penerimaan yang lebih optimal karena jaringan birokrasi yang lebih luas;
  3. Peningkatan kualitas pelayanan kepada WP; dan
  4. Peningkatan akuntabilitas penggunaan penerimaan PBB.

Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan pengalihan PBB-P2?

  1. Proses pengalihan berjalan lancar dengan biaya yang minimal;
  2. Stabilitas penerimaan PBB-P2 tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat diterima; dan
  3. Wajib Pajak tidak merasakan adanya penurunan pelayanan.