Gusfahmi menjelaskan bahwa Islam sebagai Ad-Din (sistem kehidupan) mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk juga bagaimana cara pemerintah memperoleh pendapatan (mawarid ad daulah). Sumber pendapatan Negara menurut Sistem Ekonomi Islam adalah Ghanimah (harta rampasan perang), Fa’i (harta yang diperoleh tanpa peperangan), Jizyah (pajak kepala), Kharaj (sewa tanah), Ushr (bea masuk) dan Zakat. Disamping pendapatan utama, ada pula pendapatan sekunder yang diperoleh tidak tetap, yaitu: ghulul, kaffarat, luqathah, waqaf, uang tebusan, khums/rikaz, pinjaman, amwal fadhla, nawa’ib, hadiah, dan lain-lain.
Pada masa awal pemerintahan Islam di Zaman Nabi Muhammad SAW (622-632M) di Madinah, belum ada pajak. Untuk membiayai belanja Negara Islam waktu itu sudah cukup dari Ghanimah, Fa’i, Kharaj, Ushr, Jizyah dan Zakat. Negara menganut sistem anggaran belanja berimbang (balance budget), dimana belanja Negara sesuai dengan besarnya pendapatan. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidin (632-654M), Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah hingga Dinasti Turki Utsmani (1924 M).
Keadaan mulai berubah setelah era modern, dimana pemerintah Islam tidak lagi mempunyai sumber pendapatan dari sumber yang asli seperti Ghanimah, Fa’i, Kharaj, Ushr, Jizyah karena sudah tidak lagi berperang yang mengakibatkan Ghanimah dan Fa’i hilang. Selain itu juga tidak ada ekspansi wilayah kekuasaan yang mengakibatkan hilangnya Kharaj. Para pembayar Jizyah pun berkurang drastis karena mereka yang dulu membayar Jizyah (Nasrani dan Yahudi) sebagian masuk Islam.
Hanya Zakat yang masih dipungut pemerintah Islam hingga saat ini, namun Zakat tidak bisa digunakan untuk membiayai pengeluaran negara seperti membayar gaji tentara/PNS, membangun infrastruktur, dan semacamnya, mengingat penggunaan Zakat sudah ditetapkan lanngsung oleh Allah SWT hanya untuk asnaf yang delapan.
Dalam keadaan yang demikian, negara tidak punya sumber pendapatan yang sesuai dengan Syari’at Islam untuk membiayai jalannya pemerintahan. Disisi lain, seorang Khalifah/Ulil Amri wajib mengadakan kebutuhan rakyatnya. Apabila tidak diadakan maka akan timbul bencana yang lebih besar yaitu kekacauan, kerusuhan dan malapetaka lainnya. Mengatasi keadaan demikian, maka muncullah ijtihad dari Ulil Amri untuk memungut Pajak (Dhariibah). Pajak (Dhariibah) merupakan beban yang dipikulkan kepada kaum Muslimin sesudah kewajiban utama berupa Zakat. Seorang Muslim dibebani dengan dua kewajiban sekaligus yaitu Zakat dan Pajak.
Bagaimana Pajak (Dharibah) ini seharusnya dipungut oleh pemerintah? Inilah bahasan menarik yang dipaparkan penulis dalam bedah buku “Pajak Menurut Syariah” yang mendapat respon luar biasa dari peserta.
Menurut Gusfahmi, buku tersebut sudah terjual lebih dari 10.000 exemplar. Ini menandakan bahwa minat masyarakat akan hadirnya Pajak yang sesuai dengan Syari’at Islam sangat tinggi. Gusfahmi berharap buku ini menjadi setetes embun penyejuk di kegersangan ilmu perpajakan Islam dewasa ini.
Sumber: http://www.pajak.go.id/content/news/djp-bedah-buku-pajak-menurut-syariah